بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ و رَحِمَهُ اللَّهُ وَ بَرَكَاته

اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ، لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ, أَمَّا بَعْدُ

 

 

Segala puji milik Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hidayah dan Agama yang benar, untuk memenangkannya atas semua agama lainnya, dan cukuplah Allah sebagai saksi. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ya Allah berikan rahmat kepada junjungan kita Nabi Muhammad serta kepada keluarga dan sahabatnya, semuanya

 

Dalam Islam, merawat dan menjaga anak yatim dianggap sebagai tindakan mulia yang memiliki nilai pahala yang besar. Anak yatim adalah individu yang telah kehilangan ayahnya, dan Islam mendorong umatnya untuk memberikan perhatian dan dukungan kepada mereka. Kemuliaan anak yatim ditegaskan oleh contoh kehidupan Nabi Muhammad SAW yang sendiri tumbuh tanpa ayah. Dalam artikel ini, kami akan membahas batas waktu hingga seseorang dianggap sebagai anak yatim dalam Islam.

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam salah satu haditsnya, Nabi SAW bersabda

 

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُما شَيْئًا

 

Artinya, “Aku dan orang yang merawat anak yatim seperti ini dalam surga.” Kemudian nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, seraya sedikit merenggangkannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

 

DEFINISI ANAK YATIM

 

Dalam Islam, seorang anak dianggap sebagai anak yatim jika dia kehilangan ayahnya, meskipun ibu atau kakek-nenek masih hidup. Hal ini penting untuk dipahami agar tidak salah menentukan siapa yang dapat dianggap sebagai anak yatim. Seperti yang dinyatakan oleh Syekh Sulaiman al-Jamal, seorang ulama Islam, “seorang anak yatim adalah anak kecil yang tidak memiliki ayah, bahkan jika ia memiliki ibu dan kakek-nenek

 

وَالْيَتِيمُ صَغِيرٌ لَا أَبَ لَهُ وَإِنْ كَانَ لَهُ أُمٌّ وَجَدٌّ، وَمَنْ فَقَدَ أُمَّهُ فَقَطْ مِنْ الْآدَمِيِّينَ يُقَالُ لَهُ مُنْقَطِعٌ

 

Artinya, “Yatim adalah anak kecil yang tidak memiliki ayah (wafat), sekalipun memiliki ibu dan kakek. Dan siapa saja yang kehilangan (ditinggal wafat) oleh ibunya dari kalangan manusia, maka dia dikatakan munqathi’ (orang yang dipisah).” (Syekh Sulaiman Jamal, Hasyiyatul Jamal ‘ala Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz IV, halaman 88).

 

BATAS USIA YATIM

 

Menurut ajaran Islam, status seorang anak sebagai yatim tetap berlaku hingga dia mencapai usia baligh. Baligh adalah tahap perkembangan fisik dan mental di mana seseorang mencapai kematangan seksual. Dalam hadits yang diriwayatkan, Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa "Tidak dikatakan yatim orang yang sudah mimpi basah (baligh)."

Rasulullah saw bersabda :

 

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ

 

Artinya, “Tidak dikatakan yatim orang yang sudah mimpi basah (baligh)  (HR al-Baihaqi)

 

Berkaitan dengan hadits ini, Syekh Syamsu al-Haq Abu Thayyib, dalam salah satu karyanya mengutip pendapat Ibnu Ruslan bahwa batas seseorang disebut yatim adalah sebelum baligh. Sehingga ketika sudah baligh maka tidak berlaku lagi baginya ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diberlakukan pada anak yatim, selanjutnya statusnya sama sebagaimana anak-anak yang baligh pada umumnya. Dalam karyanya disebutkan

 

قَالَ بْنُ رُسْلاَنَ إِذَا بَلَغَ الْيَتِيْمُ أَوِ الْيَتِيْمَةُ زَمَنَ الْبُلُوْغِ الَّذِيْ يَحْتَلِمُ غَالِبُ النَّاسِ زَالَ عَنْهُمَا اِسْمُ الْيَتِيْمِ حَقِيْقَةً، وَجَرَى عَلَيْهِمَا حُكْمُ الْبَالِغِيْنَ

 

Artinya, “Berkata Ibnu Ruslan: Jika anak yatim laki-laki dan yatim perempuan sudah sampai pada masa baligh, di mana kebanyakan manusia mimpi basah, maka hilang status yatim dari keduanya secara hakikat, kemudian diberlakukan bagi keduanya ketentuan orang-orang baligh 

(Syekh Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1415], juz VIII, halaman 54).

 

                Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Syekh Abdurrauf al-Munawi (wafat 1031 H) dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Jami’is Shagir dan kitab at-Taisir bi Syarhi Jami’is Shagir; Syekh Badruddin al-‘Aini (wafat 855 H) dalam kitab ‘Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari; Imam Nawawi (wafat 676 H), dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzab; dan beberapa ulama lainnya. Begitu juga menurut Syihabuddin ar-Ramli, yang mengatakan bahwa anak yatim adalah mereka yang belum baligh, baik disebabkan usia maupun mimpi basah.

 

اَلْيَتِيْمُ صَغِيْرٌ لَمْ يَبْلُغْ بِسِنٍّ أَوِ احْتِلَامٍ لِخَبَرٍ لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ

 

Artinya, “Yatim adalah anak kecil yang belum baligh; baik dengan tahun ataupun dengan mimpi basah, karena terdapat hadits: Tidak dikatakan yatim orang yang sudah mimpi basah (baligh).” (Imam ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1404], juz VI, halaman 138).

 

    Artinya, seorang anak yang sudah mencapai usia baligh, yang biasanya terjadi sekitar usia 15 tahun atau setelah mengalami mimpi basah, tidak lagi dianggap sebagai anak yatim. Ketika seseorang mencapai tahap ini, ia akan tunduk pada ketentuan yang berlaku untuk individu yang sudah baligh secara umum.

 

Kesimpulan

 

    Dalam Islam, status anak yatim berlaku untuk anak-anak yang telah kehilangan ayah mereka dan belum mencapai usia baligh. Batas waktu ini ditentukan oleh ajaran agama dan adalah cara untuk mengidentifikasi siapa yang memenuhi syarat sebagai anak yatim. Memberikan perhatian dan dukungan kepada anak yatim adalah tindakan yang sangat dianjurkan dalam Islam, dan hal ini memiliki nilai pahala yang besar di mata Allah SWT. Dengan memahami batasan ini, umat Islam dapat lebih baik memenuhi tanggung jawab mereka terhadap anak yatim dalam masyarakat.

Allahu  a’lam

 

Coretan Logika